Senin, 09 Agustus 2021

ASAP

 ASAP

Pengarang cerita : TarinahTajuddin / pintarinah.blogspot.com

    

    Pagi yang cerah, udara terasa sejuk dan bersih. Suara burung saling bersautan dan bunga-bunga di halaman depan rumah, indah bermekaran. Seperti biasa aku membantu ibu menyapu halaman, bau debu di halaman dan sekitar rumah yang  tersentuh embun pagi  sangat khas wanginya. Tak ada polusi udara di sisni semua masih asri dan alami.

    Aku Retno, usiaku 12 tahun. Aku sangat bersyukur dan bahagia tinggal di Desaku, Malahayu, Kecamatan Banjarharjo, Kabupaten Brebes, Jawa-Tengah. Rumahku dipinggiran jalan menuju hutan lindung ke arah Waduk Malahayu. O ya, Di dalam rumah ada sepupuku Mas Anton dan keluarganya yang semalam baru saja tiba dari Jakarta, mereka sedang berlibur ke rumahku.

    Setelah  sarapan pagi ini, Ayah menemani Pakde dan Bude ke kota Brebes, ada hal yang sedang mereka urus di sana. “Mas Anton nya mana mbak?” tanya ibu pada Bude Santi mamanya mas Anton  sebelum mereka berangkat . “ Ooo iya, tadi setelah solat subuh dia tidur lagi, sekarang malah belum bangun. Mungkin semalam kelelahan di jalan. Kata Bude Santi bercerita sebelum berangkat ke kota tadi.

-------------------------------

    Jam di dinding menunjukan pukul 09.00 WIB. Sampai Aku selesai membantu ibu memasak di dapur mas Anton belum muncul juga. Tak berapa lama kemudian...“Oh mas Anton sudah bangun,..” Ibu menyapa sepupuku itu, ku lirik jam dinding di ruang tamu, pukul 11.00 WIB sekarang. “ Selamat pagi menjelang siang mas...”, sapaku padanya. Dalam tradisi jawa Timur asal daerahnya Bude Santi, sepupu atau anak dari kakak ayah harus dituakan dengan panggilan Mas, kakak atau semacamnya meski umur kami tidak jauh berbeda. Mas Anton tak menyahut, ia ngeluyur ke arah belakang rumah. Ia membuka pintu belakang dan jongkok di samping kandang ayam di halaman belakang.

    “ Mas gak mandi? Gak sarapan? Gak lapar? Tidur sampai sesiang ini?” tanyaku padanya “Retnooo,.. mas antonnya baru bangun, sudah di lemparkan banyak pertanyaan begitu,” Ujar Ibu dari dalam dapur.

    “Hemmm,..iya bu, Retno Cuma nanya.” Sahutku “ Maaf ya mas,...” ujarku pada mas Anton kemudian hendak masuk ke dalam rumah. “Retno! itu sampah-sampah daun-daun kering berserekan begitu aja? Jorok! Kumuh kelihatannya.” tanya Mas Anton ketus, membuat alisku terangkat. ”Eh, Pertanyaan aneh,..ditawari apa saja tidak menyahut malah ngomentarin  daun kering?...” gerutuku dengan pertanyaan yang di lontarkan mas Anton. Lebih baik aku masuk saja ke dalam kamarku.

    Letak kamarku paling belakang dekat dapur, dari  jendela kamarku  dapat kelihatan samping halaman belakang rumah. Setiap pagi Jendela kamarku selalu ku buka,  agar udara segar dari pepohonan yang masih tumbuh lebat di belakang rumah dapat masuk ke kamar dan rumah kami.

-----------------------------------

    Beberapa waktu kemudian.., Tiba-tiba terdengar ibu terbatuk-batuk dari dapur,  kemudian disusul aku yang juga ikut terbatuk-batuk karena kamarku terkepung asap pekat yang mengepul masuk dari sela-sela luar jendela yang terbuka. Rasanya cukup sesak di dada. Aku berlari ke arah sumber asap dan ternyata  asap datang dari belakang rumah. 

    “ Ya Allah Mas Anton sedang apa?” tanyaku melihat mas Anton terbatuk-batuk dan tangannya sibuk mengusir asap di sekelilingnya. Ku toleh ke arah sebuah tabunan api, kelihatannya mas Anton tengah membakar sampah daun-daun  setengah basah dan ranting-ranting kering. Asap sampah dibakar itu begitu pekat. Udara jadi tercemar karena asap.

    “I..i..iya Retno, aku bakar sampah dan daun-daun yang berserakan itu.” Kata mas Anton gugup sambil terus menghindari asap yang makin mengepul dan api yang makin membesar melahap ranting.

    “ Retno... cepat sini bantu ibu ambil air!” kata Ibu dari dalam rumah, “ Iya bu...” sahutku. “Mas Anton! Ayo cepat bantu padamkan apinya, ini bahaya loh mas banyak pohon pohon lebat disana takut apinya nyamber” Ujarku pada mas Anton. Mas Anton kelihatan panik dan tambah gugup, ia berlari mengambil air yang ibu tampung di kolam kamar mandi. “Byurrrrr” suara air menyiram tabunan terdengar bergantian, cukup lama sampai akhirnya api pun mati. “Alhamdulillah ya allah.. mati juga apinya Retno.” Kata Mas Anton kelelahan dan  duduk seraya menyelonjorkan kakinya.

    “ Aduh mas, lain kali nanya dulu dong! Mana tumpukan nya menggunung sekali itu, ya ampun.” Seruku pada mas Anton sambil terengah engah bolak balik lari ke dalam kamar mandi dari dalam rumah ke halaman belakang.

    “ Sudah, sudah Retno, Mas Anton kan gak paham, jangan dimarahi terus” Kata ibu melerai. “ Lain kali nanya dulu mas, lagian bangun tidur itu cuci muka dulu, atau mandi ke’ trus makan dulu, biar bisberpikir jernih.” Tambahku. “Retno...” panggil ibu lirih, “ Iya bu...maaf.” sahutku.

    “ Begini loh mas, di sini ada caranya, untuk mengelola atau membakar sampah daun-daun yang berserakan tersebut. Pertama yang sering dilakukan Paklik ( Ayah Retno) dan warga sini adalah menggali lubang yang cukup besar dan dalam di tanah, dikumpulkan sampah dan daunnya baru dibakar di dalam lubang itu,  tiga hari atau seminggu sekali. Itupun harus jauh dari letak pohon-pohon lebat di halaman belakang ini. Nah cara lainnya kadang daun daun yang basah dan membusuk, dipilih dan dikumpulkan oleh Paklik untuk di olah di jadikan pupuk. Begitu mas....” ujar ibu menjelaskan kepada Mas Anton. 

    “ Ooh baik bude, maafkan Anton ya. Lain kali Anton akan bertanya dulu sebelum betindak dalam hal apapun. “ Ujar Mas Anton terlihat menyesal “Nah gitu dong, jangan langsung main bakar aja mas.” Gerutuku pada mas Anton. “ Iya...maafin mas, ya Retno!” ujar mas Anton memohon, Aku jadi kasihan juga melihatnya apalagi  teringat dengan  wajah panikanya tadi, jadi serentak saja ku beri senyuman maaf padanya. Begitulah, karena di sini udara sangat bersih dan belum tercemar, kekhawatiran dan ketakutanku memang agak sedikit berlebihan. “Aku juga minta maaf ya mas, tadi agak keterlaluan menegurnya,...hehe” Ujarku balik memohon maaf padanya. Mas Anton melontarkan senyuman, seri kosong-kosong. “Tos!” kataku sambil mengangkat sebelah tangan dan melebarkan telapak tanganku, Mas Anton membalas Tos ku. Ibu tersenyum melihat kami. “Mas Anton mau mandi dulu?” tanya ibu pada mas Anton. “Kruuuuuk,..” perut Mas Anton berbunyi menjawab pertanyaan ibu. Kami pun semua menjadi  terbahak-bahak mendengarnya. “ Ya sudah, ayo kita makan siang dulu! “ Kami bangkit dan berjalan menuju meja makan.

Selesai


32 komentar:

  1. Tolong dong kak tarina kasih tugas cuman 1 soal aja

    BalasHapus
  2. Cerpen cinta foto free ongkir ke alamat email anda pada kolom komentar

    BalasHapus